Wednesday, June 3, 2015

KOMUNIKASI KELUARGA (MATERI KPP)



PENGANTAR
Memiliki keluarga yang indah dan bahagia adalah cita-cita setiap orang yang menikah.Akan tetapi, cita-cita tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun.Hal ini terbukti dengan contoh kenkret bahwa di Indonesia pun, kurang lebih 30% perkawinan berakhir dengan perceraian.Sudah menjadi seharusnya kebahagiaan perkawinan diperjuangkan setiap hari sepanjang hidup. Kunci hidup perkawinan tidak lain adalah saling menjaga kesetiaan; saling memberikan perhatian; serta tidak egois terhadap pasangannya; dank arena itu, diperlukan komunikasi yang baik satu sama lain. Komunikasi menjadi sarana yang ampuh untuk mewujudkan kebahagiaan dalam hidup perkawinan.
PROSES PENYESUAIAN
Pada awal-awal perkawinan, semua berjalan begitu mudah.Suami/siteri selalu berusaha membahagiakan pasangannya, sampai-sampai hal-hal yang kurang menyenangkan dan sifat-sifat yang kurang disukai yang muncul dari pasangannya, tidak dihiraukan. Perasaan selalu diliputi rasa bahagia karena bisa menjalani hari-hari bersama pasangannya, sang belahan jiwa. Dalam suasana seperti ini, proses penyesuaian dapat berjalan dengan baik.Memang, proses penyesuaian ini memerlukan waktu yang lama sehingga relasi suami/isteri yang terjalin dengan komunikasi yang hangat diliputi rasa cinta membuat perjalanan hidup perkawinan serasa bebas tanpa hambatan.
Proses penyesuaian pun berjalan terus, semakin lama semakin terasa perbedaannya, kerikil-kerikil hidup berumah tangga mulai terasa membuat jalan tidak lagi begitu mudah. Selang beberapa waktu, sifat-sifat dan watak sebenarnya mulai tampak dan suasana mulai berubah.Jangan-jangan setelah satu bulan “madunya” habis dan mulai diganti “padu” (pertengkaran atau perkelahian).
Memang, tantangan pertama yang dihadapi pada masa awal perkawinan adalah proses penyesuaian satu sama lain. Ada sejuta hal yang tampaknya kecil, tetapi perlu disesuaikan, mulai dari selera makan, cara berpakaian, kebisaaan-kebisaaan sewaktu masih bujang, juga perbedaan-perbedaan karena latar belakang pendidikan, keluarga, dan lingkungan. Hal-hal seperti itu mudah menimbulkan rasa jengkel, frustrasi, dan kecewa bila tidak ada kemauan dari kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri satu sama lain. Masalah akan bertambah berat bila perasaan, keinginan, dan maksud hati tidak diungkapkan dengan jelas, tetapi didiamkan dan dipendam karena menganggap bahwa pasangannya “sudah tahu” apa yang dirasakan, dipikirkan, dan diharapkannya.
Tahap penyesuaian kedua adalah dimulai dengan kedatangan sang buah hati. Begitu mereka dianugerahi anak, perhatian kepada pasangannya mulai terbagi. Sang ibu sibuk merawat anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan sang ayah bertambah tanggung jawanya sehingga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Secara tidak disadari, relasi mereka mulai mengalami perubahan, merenggang, tidak sebaik hari-hari sebelumnya.Perhatian, tenaga, dan waktu mereka tersita oleh kesibukan mereka masing-masing, mengurus anak dan tugas sehari-hari. Kebisaaan bicara dai hati ke hati semakin jarang dilakukan.
Dalam situasi seperti itu, salah paham mudah terjadi yang sering meningkat menjadi pertengkeran.Kemudian, mulai muncul kekecewaan dan perasaan negative yang akhirnya membuat relasi yang baik yang sudah terjalin menjadi kurang baik.Ditambah lagi dengan adanya tantangan, gangguan, dan godaan dari luar, seperti dari keluarga, lingkunagn, dan masalah ekonomi sehingga menimbulkan persoalan yang menimbulkan cekcok.Kekecewaan-kekecewaan itu bisaanya dipendam saja dalam hati.Akan tetapi, pada suatu saat bisa meledak. Kehangatan relasi mulai diganti dengan ketegangan dan banyak diam. Pertengkaran mulai sering terjadi, sifat egois masing-masing mulai mendominasi dan apabila mereka tidak menemukan jalan untuk menyelamatkannya, mereka akan jatuh pada “neraka perkawinan” dan keadaan akan semakin memprihatinkan.


MEMBANGUN RELASI DENGAN KOMUNIKASI
Melihat situasi demikian, mungkin orang akan bertanya, “Apa yang harus kami lakukan supaya keluarga kami dapat bertahan dan lestari?”
Kunci jawaban adalah KOM – UNI – KASI.Dari penelitian yang dilakukan oleh sejumlah pakar dan juga dari pengalaman hidup kiranya menjadi jelas bahwa komunikasi menjadi factor penentu kelanggengan relasi suami-isteri.Bila suami-siteri dari semula berusaha untuk tetap berkomunikasi, maka segala persoalan akanbisa dihadapi (syukur kalau dapat diatasi) bersama.Bahkan, relasi perkawinan yang sudah mengalami kegoncangan akibat kekecewaan, masih dapat dipulihkan dan diselamatkan.
a.       Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses timbal balik antara dua orang, yang seorang memberi informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut sehingga terjadi kesatuan pemahaman. Syarat mutlak komunikasi adalah yang satu mau bicara, membuka hati dan secara jujur berani mengungkapkan keinginan-keinginan da nisi hatinya, sedang yang lain mau mendengarkan, mau menerima, dan mau mengerti. Oleh karena itu, gerakan tutup mulut – di mana kedua belah pihak tidak lagi mau saling berbicara – adalah lonceng kematian bagi komunikasi.Dalam perkawinan, dua pribadi dengan segala kekhususannya bergabung menjadi satu dan saling melengkapi dengan saling memahami, menghormati keinginan, alam pikiran, dan cita-cita pasangannya. Dengan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak, beserta dengan segala “kekayaannya”, keduanya justeru saling memperkaya satu sama lain. Proses pemerkayaan ini akan terjadi bila kedua belah pihak mau salinh berkomunikasi.
b.      Prasyarat Komunikasi
Supaya komunikasi bisa berlangsung, yang pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana yang mendukung, antara lain:
1.       Relasi Suami-Isteri Nomor Satu
Relasi suami-isteri harus dinomorsatukan di atas segala-galanya. Ini berarti bahwa suami-siteri harus mau saling memperhatikan, mementingkan pasangan: menyediakan waktu bagi pasangan, mau mendengarkan, mau menerima, dan mengutamakan pasangan di atas segala yang lain. Karena RELASI lebih penting daripada PRESTASI.
Cinta itu lebih dari sekedar perasaan. Perasaan selalu berubah-ubah (hari ini senang dan besok mungkin sedih); sedangkan CINTA ADALAH SUATU KEPUTUSAN untuk tetap setia, juga kalau kehangatan perasaan mulai pudar (“dalam suka dan duka, dalam untung dan malang”); keputusan untuk tetap saling menerima seperti apa adanya, saling membantu untuk berkembang dan menemukan kepribadian yang sejati tanpa mau memaksa yang lain untuk menjadi seperti yang diinginkan.
2.       Menciptakan Suasana yang Nyaman
Salah satu tugas penting isteri adalah menciptakan suasana yang enak di rumah sehingga suami (dan anak-anak) merasa kerasan tinggal di rumah. Di pihak lain, rahasia isteri yang baik terletak di tangan suaminya, yaitu apakah suami dapat memberikan rasa aman, perlindungan, perhatian, kemesraan, kata-kata pujian, serta penghargaan kepada isterinya.
Dalam berkomunikasi satu sama lain, khususnya mengenai hal-hal yang agak peka, hendaknya dibisaakan tidak menuduh, menuding atau mempersalahkan yang lain. Misalnya, bukan “Kenapa kau tidak mau tahu betapa aku merindukanmu segera berada di rumah….”, tetapi “Aku merasa cemas kalau-kalau terjadi hal yang tidak baik padamu, maka aku mengharapkan engkau cepat pulang…”, Bukan dengan tuduhan “Kenapa kau mesti pulang malam”, tetapi “Aku merasa kesepian kalau malam hari sendirian di rumah” atau “Aku merindukan kau berada di dekatku…”
Dalam keluarga Katolik, sangat penting diadakan doa malam bersama yang isi pokoknya adalah berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkat-Nya selama hari ini, mohon ampun atas segala kekurangan dan kesalahan kita: mohon berkat atas hidup kita selanjutnya. Doa malam mesti disertai juga saling memaafkan. Inilah waktunya untuk “menyelesaikan” segala ketegangan dalam relasi yang telah timbul selama hari itu.
Masalah-masalah yang menyangkut kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama, sampai tercapai mufakat, atau paling tidak sampai terjadi saling pengertian, misalnya tentang ekonomi/keuangan, hubungan dengan orangtua dan family, pekerjaan, pendidikan anak, kegiatan dalam masyarakat, penghayatan agama, seks, hobi, dan sebagainya. HARUS ADA WAKTU UNTUK ITU.
Hendaknya kedua belah pihak minimal sehari sekali saling mengucapkan sepatah kata manis atau kata pujian, sedangkan kritikan, ejekan, tuduhan, celaan, sindiran, dan sebagainya hendaknya dihindari. Kata “terima kasih” dan “maafkan ya” hendaknya menjadi perkataan sehari-hari di antara pasangan suami-siteri. Apabila ada masalah atau timbul perasaan negative hendaknya jangan dipendam saja atau didiamkan, lebih baik dibicarakan secara terbuka!
3.       Kerelaan untuk Mendengarkan
Kunci dansyarat mutlak komunikasi adalah kerelaan dan kemampuan untuk MENDENGARKAN. Bila yang satu bicara yang lain diharapkan menjadi “pendengar yang baik”. Mendengarkan berarti tidak hanya membuka telinga untuk APA yang dikatakan (isi pembicaraan atau pesannya), tetapi lebih membuka hati untuk SIAPA yang sedang berbicara. Dengan kata lain, dalam MENDENGARKAN ini kita memberikan atensi: perhatian, waktu, dan diri kita sepenuhnya pada lawan bicara kita. Pentingnya mendengarkan dengan mudah dapat kita merasa tidak didengarkan oleh orang lain. Maka, jadilah seorang pendengar yang baik.
4.       Memilih Waktu dan Tempat
Untuk membangun komunikasi yang baik hendaknya kita pandai-pandai memperhatikan situasi serta memilih WAKTU dan kesempatan, juga TEMPAT yang sesuai.Misalnya, kalau suami baru pulang dari tempat kerja/lading – dalam keadaan lelah – janganlah langsung dihujani dengan bermacam-macam persoalan, keluhan, omelan, dan tugas-tugas. Dalam keadaan demikian, mungkin reaksinya tidak akan baik. Berilah dia waktu sejenak baru kemudian diajak bicara.Bila ada masalah, jangan meragukan “Apakah dia masih cinta padaku?” Hal itu tidak perlu diragukan lagi karena Anda berdua sudah menjanjikan hal itu di depan altar. Munculnya masalah atau persoalan adalah hal yang bisaa dalam kehidupan bersama, yang penting bahwa diusahakan untuk mencari solusinya. Jagalah supaya orang lain jangan sampai tahu kalau Anda sedang berselisih. Jangan pernah membicarakan kejelekan pasangan Anda kepada orang luar.
c.       Bahasa Komunikasi
Dibedakan tiga bahasa komunikasi dalam relasi pasangan suami-isteri. Ini masih dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu komunikasi verbal/dengan kata-kata (bagian 1 dan 2) dan komunikasi nonverbal/tidak dengan kata-kata (bagian 3 dan 4).
1.       Dari Kepala ke Kepala/Diskusi
Jenis komunikasi ini adalah pembicaraan yang sifatnya basa basi, urusan sehari-hari (soal anak, pekerjaan, atau arisan), memberi informasi, merencanakan sesuatu atau menyelesaikan suatu masalah.Bila ada suatu masalah yang dihadapi maka perlu dirembuk atau didiskusikan.Intinya bahwa suami-isteri saling tukar pengalaman, pikiran atau pendapat.Tukar pendapat (isi kepala) disebut DISKUSI.Hasilnya bisa berupa suatu kompromi, mengalah, atau toleransi.
Dalam diskusi, suami-isteri membicarakan suatu masalah dan saling mempertahankan pendapat, berdasarkan kebenaran yang diyakini, sampai akhirnya dapat disimpulkan suatu pendapat yang disepakati bersama. Dalam diskusi bisaa terjadi bahwa ada pihak yang “menang” da nada pihak yang merasa ”kalah”. Yang “menang” merasa senang, tetapi yang merasa “kalah” sangat mungkin mempunyai perasaan dongkol, marah, kecewa, ataupun merasa tidak dimengerti.Perasaan ini sering kali diteruskan dengan sikap mendiamkan dan menghindar sehingga relasi suami-isteri menjadi jauh.
Bila dalam diskusi juga dilontarkan tuduhan (mempersalahkan yang lain), hal ini tentu akan menimbulkan reaksi “bela diri” yang berlanjut ke pertengkaran. Maka jangan menuduh, menggurui, menyindir, atau saling mempersalahkan.Lebih baik mengajukan pertanyaan dan membantu pasangan mengutarakan pikirannya/isi hatinya. Perbedaan pendapat antara suami-isteri adalah wajar! Agar diskusi tidak menjadi pertengkaran, caranya ialah dengan bertanya dan mau mendengarkan.Menjadi pendengar yang baik belum tentu berarti menyetujui semua hal yang didengarkan, tetapi lebih berarti mau memperhatikan.
2.       Dari Hati ke Hati
Bentuk komunikasi “dari hati ke hati” dengan mengutarakan isi hati dan perasaan-perasaan disebut DIALOG. Dalam dialog, suami-isteri saling tukar perasaan da nisi hati. Atas dasar saling percaya dan saling menerima, suami-isteri berani saling mengungkapkan isi hati dan perasaan.Dengan demikian, mereka dapat saling mengerti dengan hati masing-masing.
Dalam dialog, suami-isteri saling mengungkapkan isi hati atau perasaan. Perasaan seseorang hanya dapat diterima saja; jadi tidak perlu membela diri, apalagi menyerang atau mengusut dengan pertanyaan: “Mengapa kau punya perasaan seperti itu?” atau “Aku tidak setuju dengan perasaanmu itu”. Kalau belum jelas apakah yang diutarakan itu “perasaan” atau “pendapat”, lebih baik bertanya dahulu supaya kedua belah pihak berbicara pada “gelombang” yang sama daripada salah omong.
Banyak suami-isteri masih sulit untuk mengungkapkan perasaannya, lebih-lebih perasaan negative (sakit hati, dongkol, kecewa, dan sebagainya) atau perasaan yang kurang menyenangkan (takut, gagal, sedih, dan sebagainya).Namun, perasaan-perasaan itu merupakan bagian dari hidup. Kalau dipendam hanya akan menjadi beban, dan pada suatu saat bisa “meledak” dalam bentuk kemarahan, kata yang pedas, dan sindiran yang menyakitkan. Pedoman yang penting dalam hal ini adalah: perasaan itu tidak “baik” atau “jelek”, tetapi perasaan itu mengungkapkan sesuatu mengenai jati diri kita yang sebenarnya.
Dalam dialog, suami-isteri hanya mengungkapkan perasaan-perasaan hati. Tidak ada sikap menuduh atau mempersalahkan.Tidak ada yang “menang” dan “kalah”.Oleh karena itu, hasil dialog adalah lebih saling mendekatkan dan menghangatkan relasi.Pembicaraan dari hati ke hati sering dibantu dengan tulisan/surat.
3.       Bahasa Badan
Bahasa badan adalah setiap ungkapan cinta, perhatian, dan kasih saying satu sama lain, tetapi tidak dengan kata-kata dan tidak dimaksudkan untuk merangsang seksual. Bahasa badan ini sangat penting untuk menciptakan suasana akrab dan mesra.Bahasa badan mempunyai peranan tersendiri (lepas dari hubungan seks).Bahasa badan dapat memberikan rasa aman, terlindung, diperhatikan, dan menimbulkan rasa akrab.
Pada waktu masih pacaran bisaanya orang pandai mencari kesempatan untuk saling menyentuh.Belaian tangan atau rambut dengan lembut dirasakan sebagai sesuatu yang amat berarti untuk mengungkapkan rasa cinta dan mendekatkan hati. Tangan kita dapat bicara sama banyaknya dengan mulut. Jari jemari dapat mendengarkan sama tajamnya seperti telinga. Mengapa cara pengungkapan seperti ini dihentikan atau dianggap sudah tidak perlu lagi kalau sudah menjadi suami-isteri? Tetapi bila suami-isteri ingin mengadakan hubungan seks, mesti didahului dengan bahasa badan dalam berbagai variasinya. Cara-cara itu antara lain: pandangan mata, pijat-pijatan, senyuman, pegang-pegangan, rangkulan, sentuhan/belaian tangan, ciuman, duduk berdampingan, dekapan, dan lain-lain. Dianjurkan agar suami-isteri saling memberi ciuman sebagai tanda kasih saying minimal beberapa kali sehari! Tanda-tanda adanya hubungan akrab antara ayah dan ibu seperti itu boleh dilihat anak.
4.       Hubungan Seks
Apa itu Hubungan Seks?
Hubungan seks adalah bahasa komunikasi yang paling intim dan paling menyeluruh dalam relasi suami-isteri, sebagai perwujudan nyata dari “bersatu padu jiwa raga”. Seks bukan pertama-tama suatu “kegiatan yang dilakukan” untuk mencari kepuasan biologis atau hanya “melaksanakan kewajiban” sebagai suami dan isteri, melainkan suatu bahasa komunikasi yang dimaksudkan untuk lebih mempersatukan suami-isteri dalam kasih mesra. Seks bukan pertama-tama suatu aktivitas yang bersifat biologis melulu, yang dilakukan dengan alat kelamin melainkan aktivitas yang melibatkan unsur psikologis/kejiwaan, emosional/perasaan, dan spiritual/kehendak/kemauan. Dengan kata lain, aktivitas seksual adalah aktivitas yang melibatkan seluruh pribadi manusia dan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan relasi suami-isteri dan suasana keluarga.
Bila relasi suami-isteri berjalan dengan baik dan suasana keluarga dalam keadaan harmonis, maka hubungan seks juga akan menjadi aktivitas yang membahagiakan. Karena itulah dapat dikatakan bahwa hubungan seks hanyalah “meragakan” relasi yang ada. Bila hati dekat, hubungan seks juga akan memuaskan; sebaliknya bila hati tidak merasa dekat, segala teknik seks yang paling canggih pun tidak akan membantu untuk mendekatkannya.Bukan seks yang membuat perkawinan menjadi sukses, sebaliknya relasi yang baik membuat seks menjadi suatu pengalaman yang indah dan membahagiakan.
Supaya hubungan seks bisa berjalan dengan memuaskan bagi kedua belah pihak, perlu diperhatikan perbedaan dalam pembawaan, sifat, kebutuhan, harapan, keinginan, dan irama pria-wanita.
Pria lebih terarah pada seks dalam arti sempit (biologis) dan mempunyai pola dasar “gerak cepat” , serdangkan wanita lebih mengutamakan kasih saying, kehangatan, kemesraan, rasa aman (segi psikologis dan emosional) dan mempunyai pola dasar “lambat” dalam arti memerlukan waktu lebih lama untuk terangsang secara seksual dan mencapai kepuasannya. Bagi kaum laki-laki, seks adalah kegiatan sesaat; bagi wanita seks adalah kegiatan sehari. Jika perbedaan dasar ini kurang diperhatikan hubungan seks dapat menjadi sumber kekecewaan yang sangat mencekam dan akan mempengaruhi keseluruhan relasi suami-isteri. Karena itu, baiklah bila kedua belah pihak mau saling “belajar”  dan terbuka terhadap masalah ini.
Pelaksanaan Hubungan Seks
Pelaksanaan hubungan seks memerlukan persiapan yang cukup lama agar isteri dapat menyambut suami dengan sebaik-baiknya, demikian sebaliknya.Jika tidak demikian, isteri tidak dapat memberikan diri, apabila ada persoalan atau isteri lagi banyak pikiran, dan sebagainya.Sebaiknya suami-isteri mempunyai semacam “kode” untuk saling mengajak.Jika situasi dan kondisi tidak memungkinkan, ajakan tersebut juga bisa dijawab dengan suatu “penolakan halus”.
·         Tiga Langkah Berhubungan Seks
Pelaksanaan hubungan seks suami-isteri hendaknya melalui tiga langkah berikut ini:
a.       Persiapan (Foreplay)
Persiapan (foreplay) untuk menciptakan kesatuan jiwa dan hati juga mempersiapkan alat-alat tubuh untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Persiapan itu dapat dilaksanakan dengan: rayuan, pijatan, belaian, ciuman, dan sentuhan pada seluruh tubuh, termasuk daerah erogen ( yang peka terhadap rangsangan). Rangsangan pada wanita harus secara kontinyu dan ritmis supaya efektif dan akhirnya dipusatkan pada klitoris.Makin lama permainan cinta ini diteruskan makin baik. Maka suami hendaknya bersabar! Jangan memaksa/mendobrak.
b.      Berhubungan Seks (Sanggama)
Berapa kali?Sikap atau tekniknya?Perlu variasi?Kalau pria selesai lebih dahulu, sedang isteri belum?Kalau isteri sedang menstruasi/hamil/sakit/KB?Bagaimana kalau salah satu menolak? Masalah praktis seperti: impotensi, sakit, dan sebagainya.
c.       Sesudah Hubungan Selesai (After Play)
Kebersamaan diteruskan sampai dua-duanya mengalami kepuasan dengan belaian yang lembut disertai bisikan kata-kata pujian dan terima kasih. Evaluasi bersama = bahkan dialog, bisa saling menanyakan apakah masing-masing pihak mengalami kepuasan, bila tidak mengapa? Lain kali bisa diperbaiki lagi!
Tidak selalu berhasil/memuaskan, bersabarlah!
·         Beberapa Petunjuk
a). Perlu Privasi
Perlu privasi: kamar tidur tersendiri, di mana tidak dilihat anak/orang lain. Bila sudah ada anak, hendaknya selekas mungkin diberi tempat tidur dan kamar sendiri. Antara suami-isteri tidak perlu ada rasa malu: kedua belah pihak berani mengungkapkan keinginan secara jelas dan terus terang. Jangan menganggap bahwa pasangan “mengetahui” apa yang anda butuhkan/inginkan. Hubungan seks bukanlah hal yang tabu, justru karena itu perlu dibicarakan/didialogkan bersama-sama sehingga segala keinginan, kekecewaan, kejengkelan, dan harapan dapat terungkap.
b). Permainan Cinta
Apabila isteri sedang menstruasi, sedang dalam keadaan subur, hamil, atau baru melahirkan sehingga mereka tidak dapat melakukan hubungan seks secara normal, mereka boleh saja saling merangsang untuk saling memberikan kepuasan.Permainan cinta (mesra-mesraan, bercumbu-cumbu) mempunyai fungsi tersendiri yang dapat dilakukan setiap waktu di antara suami-isteri juga kalau isteri sedang menstruasi atau lagi tidak bergairah untuk bersanggama.
Haruslah disadari bahwa tidak setiap ungkapan kemesraan adalah ajakan untuk berhubungan seks; tidak setiap permainan cinta harus berakhir dengan hubungan sanggama.Prinsip “kalau tidak berhubungan seks, maka tidak usah melakukan permainan cinta” hendaknya dijauhkan dari kehidupan suami-isteri.Sejauh permainan cinta itu membantu mendekatkan hati dan membuat suami-isteri makin mesra dan bahagia sejauh itu pula layak untuk dilakukan.
c). Kontak Intim
Belajar memandang “kontak intim” (belaian mesra, tatapan, pelukan, pegangan tangan, ciuman di kening-pipi-dahi) antara suami-isteri sebagai cara untuk menyampaikan rasa kasih saying dan bahasa komunikasi. Seks tidak sama dengan sanggama. Seks dapat juga diartikan sebagai bersantai bersama dalam keakraban dan permainan, maka perlu disertai percakapan dan humor.Seks adalah pemberian Tuhan, dan tubuh kita pun suci, tempat kediaman Roh Kudus dan pernyataan kasi Allah. Sabda Tuhan, “Di mana ada dua orang brsatu atas nama Tuhan, di sana Tuhan sendiri hadir di tengah-tengah mereka” juga berlaku dalam relasi intim suami-isteri ketika mereka saling memberikan diri sepenuhnya dalam hubungan seks.
MENYELESAIKAN KONFLIK
Adanya perbedaan pendapat antara suami-isteri adalah hal yang wajar dan dapat terjadi kapan pun.Perbedaan pendapat itu hendaknya diselesaikan mlalui diskusi di mana kedua belah pihak dapat menyampaikan secara jujur segala keluhan, perasaan, dan mungkin juga kejengkelan yang dialaminya.Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa perbedaan pendapat sering berkembang menjadi konflik; diskusi berubah menjadi pertengkaran dan perang mulut.
Konflik sulit dihindari, yang penting adalah bagaiman mengatasinya dengan cara dan semangat Kristiani sehingga tidak membawa kehancuran dalam kehidupan suami-isteri. Bisaanya sumber konflik antara suami-isteri adalah hal-hal bisaa seperti: pendidikan anak, keuangan keluarga, aturan rumah tangga, atau mungkin juga karena campur tangan pihak ketiga (orangtua, mertua, orang luar). Kerap kali di belakang konflik ada suatu perasaan yang sangat mendalam, misalnya isteri marah-marah (kemarahan yang luar bisaa) hanya karena suami tanpa sengaja menumpahkan kopi di taplak meja.Mungkin alasan mendasar di balik kemarahan yang demikian besar adalah karena isteri merasa kurang diperhatikan oleh suami.
Nasihat orang bijak mengatakan: “Jangan lari, tetapi hadapilah persoalan yang anda alami dalam hisup”. Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan suami-isteri. Apa pun persoalan yang ada hendaknya dibicarakan dan dicarikan jalan keluarnya sampai tintas. Jangan pernah mendiamkan amasalah yang ada karena masalah itu akan kian membesar; apalagi karena suatu masalah relasi suami-isteri mencapai titik nol (diam seribu bahasa).
Konflik terbuka yang terjadi antara suami-isteri tidaklah selalu jelek. Suatu konflik dapat juga berfungsi positif, yakni untuk menjelaskan situasi, menyadarkan kedua belah pihak akan keadaan dan kebutuhan pasangannya serta menjadi sarana untuk mengungkapkan ganjalan-ganjalan, unek-unek yang mungkin sudah lama mengganggu relasi mereka. Hal penting yang perlu diperhatikan bila terjadi konflik adalah tidak membela diri dan mempersalahkan pihak lain, tetapi mau refleksi diri sambil bertanya dalam hati “apa salahku hingga menjadi demikian?”.Kedua belah pihak harus berani mencari sumber masalahnya sebelum bisa mengatasinya.


PEDOMAN MENYELESAIKAN KONFLIK
a.       Mendengarkan dengan Baik
Mendengarkan dengan baik, terutama mau menerima perasaan-perasaan yang diungkapkan, setelah itu baru diajak bicara baik-baik dan dirembuk pokok permasalahannya. Mencoba memandang persoalan dari sudut pandang pasangan kita: “Seandainya saya pada posisi dia, bagaimanakah pandangan dan perasaanku?” Kalau yang satu mau mengerti pandangan dan perasaan pihak lain, kerap kali separuh masalah sudah terselesaikan.
b.      Jangan Menanggapi Emosi
Emosi jangan ditanggapi dengan emosi, sebab kalau ditanggapi seperti itu kemungkinan akan keluar kata-kata kasar/kotor yang tidak pada tempatnya. Bila yang satu emosi, yang lain lebih baik diam atau pergi; setelah emosi mulai reda barulah pembicaraan dapat dilanjutkan kembali dengan tenang. Hindarilah kata-kata kasar dan kecaman/kritik yang tidak mengenai pokok persoalan dan hanya menyakitkan hati.
c.       Orang Lain Jangan Tahu
Usahakan sedapat mungkin jangan sampai orang lain tahu bahwa anda sedang berkonflik dengan pasangan anda. Maka, jangan pernah bertengkar di hadapan anak-anak ataupun di hadapan pembantu, tetapi bertengkarlah di kamar sendiri.Batasi diri pada pokok masalahnya. Jangan mengaitkan masalah lain yang tidak ada hubungannya, apalagi sampai melibatkan orang lain dalam kancah pertengkaran. Jangan pernah lupa bahwa orang yang sedang berkonfrontasi dengan anda adalah pasangan anda, belahan hati anda, kepada siapa anda telah berjanji akan mencintai dan menghormatinya sepanjang hidup anda. Bila konflik dapat diselesaikan hendaknya anda berdamai kembali dan berdoalah bersama serta saling memaafkan dan tidak mengungkit-ungkit kembali konflik atau permasalahan yang telah lewat.
PERTANYAAN UNTUK DISKUSI
1.       Bagaimana perasaan/reaksi anda bila dipuji oleh pasangan anda?
2.       Bagaimana perasaan/reaksi anda bila dikritik, dicela, dikomentari, atau disindir oleh pasangan anda?
3.       Bila anda merasa tersinggung, sakit hati, apa yang anda harapkan dari pasangan anda? Bila pasangan anda merasa tersinggung dan sakit hati, apa yang anda harapkan darinya?
4.       Bagaimana perasaan anda jika pasangan anda mau mendengarkan anda dengan sungguh dan sepenuh hati? Bagaimana perasaan/reaksi anda jika pasangan anda ternyata tidak sungguh mendengarkan anda?
5.       Manakah hal-hal yang harus anda diusahakan menjadi pendengar yang baik?

No comments:

Post a Comment