PENGANTAR
Memiliki
keluarga yang indah dan bahagia adalah cita-cita setiap orang yang menikah.Akan
tetapi, cita-cita tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun.Hal ini
terbukti dengan contoh kenkret bahwa di Indonesia pun, kurang lebih 30%
perkawinan berakhir dengan perceraian.Sudah menjadi seharusnya kebahagiaan
perkawinan diperjuangkan setiap hari sepanjang hidup. Kunci hidup perkawinan
tidak lain adalah saling menjaga kesetiaan; saling memberikan perhatian; serta
tidak egois terhadap pasangannya; dank arena itu, diperlukan komunikasi yang
baik satu sama lain. Komunikasi menjadi sarana yang ampuh untuk mewujudkan
kebahagiaan dalam hidup perkawinan.
PROSES PENYESUAIAN
Pada awal-awal
perkawinan, semua berjalan begitu mudah.Suami/siteri selalu berusaha
membahagiakan pasangannya, sampai-sampai hal-hal yang kurang menyenangkan dan
sifat-sifat yang kurang disukai yang muncul dari pasangannya, tidak dihiraukan.
Perasaan selalu diliputi rasa bahagia karena bisa menjalani hari-hari bersama
pasangannya, sang belahan jiwa. Dalam suasana seperti ini, proses penyesuaian
dapat berjalan dengan baik.Memang, proses penyesuaian ini memerlukan waktu yang
lama sehingga relasi suami/isteri yang terjalin dengan komunikasi yang hangat
diliputi rasa cinta membuat perjalanan hidup perkawinan serasa bebas tanpa
hambatan.
Proses
penyesuaian pun berjalan terus, semakin lama semakin terasa perbedaannya,
kerikil-kerikil hidup berumah tangga mulai terasa membuat jalan tidak lagi begitu
mudah. Selang beberapa waktu, sifat-sifat dan watak sebenarnya mulai tampak dan
suasana mulai berubah.Jangan-jangan setelah satu bulan “madunya” habis dan
mulai diganti “padu” (pertengkaran atau perkelahian).
Memang,
tantangan pertama yang dihadapi pada masa awal perkawinan adalah proses
penyesuaian satu sama lain. Ada sejuta hal yang tampaknya kecil, tetapi perlu
disesuaikan, mulai dari selera makan, cara berpakaian, kebisaaan-kebisaaan
sewaktu masih bujang, juga perbedaan-perbedaan karena latar belakang
pendidikan, keluarga, dan lingkungan. Hal-hal seperti itu mudah menimbulkan
rasa jengkel, frustrasi, dan kecewa bila tidak ada kemauan dari kedua belah
pihak untuk saling menyesuaikan diri satu sama lain. Masalah akan bertambah
berat bila perasaan, keinginan, dan maksud hati tidak diungkapkan dengan jelas,
tetapi didiamkan dan dipendam karena menganggap bahwa pasangannya “sudah tahu”
apa yang dirasakan, dipikirkan, dan diharapkannya.
Tahap
penyesuaian kedua adalah dimulai dengan kedatangan sang buah hati. Begitu
mereka dianugerahi anak, perhatian kepada pasangannya mulai terbagi. Sang ibu
sibuk merawat anak dan mengurus rumah tangga, sedangkan sang ayah bertambah
tanggung jawanya sehingga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Secara tidak disadari, relasi mereka mulai mengalami perubahan,
merenggang, tidak sebaik hari-hari sebelumnya.Perhatian, tenaga, dan waktu
mereka tersita oleh kesibukan mereka masing-masing, mengurus anak dan tugas
sehari-hari. Kebisaaan bicara dai hati ke hati semakin jarang dilakukan.
Dalam situasi
seperti itu, salah paham mudah terjadi yang sering meningkat menjadi
pertengkeran.Kemudian, mulai muncul kekecewaan dan perasaan negative yang
akhirnya membuat relasi yang baik yang sudah terjalin menjadi kurang
baik.Ditambah lagi dengan adanya tantangan, gangguan, dan godaan dari luar,
seperti dari keluarga, lingkunagn, dan masalah ekonomi sehingga menimbulkan
persoalan yang menimbulkan cekcok.Kekecewaan-kekecewaan itu bisaanya dipendam
saja dalam hati.Akan tetapi, pada suatu saat bisa meledak. Kehangatan relasi
mulai diganti dengan ketegangan dan banyak diam. Pertengkaran mulai sering
terjadi, sifat egois masing-masing mulai mendominasi dan apabila mereka tidak
menemukan jalan untuk menyelamatkannya, mereka akan jatuh pada “neraka
perkawinan” dan keadaan akan semakin memprihatinkan.
MEMBANGUN RELASI DENGAN KOMUNIKASI
Melihat situasi
demikian, mungkin orang akan bertanya, “Apa yang harus kami lakukan supaya
keluarga kami dapat bertahan dan lestari?”
Kunci jawaban
adalah KOM – UNI – KASI.Dari penelitian yang dilakukan oleh sejumlah pakar dan
juga dari pengalaman hidup kiranya menjadi jelas bahwa komunikasi menjadi
factor penentu kelanggengan relasi suami-isteri.Bila suami-siteri dari semula
berusaha untuk tetap berkomunikasi, maka segala persoalan akanbisa dihadapi
(syukur kalau dapat diatasi) bersama.Bahkan, relasi perkawinan yang sudah
mengalami kegoncangan akibat kekecewaan, masih dapat dipulihkan dan
diselamatkan.
a.
Pengertian Komunikasi
Komunikasi
adalah suatu proses timbal balik antara dua orang, yang seorang memberi
informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut sehingga terjadi
kesatuan pemahaman. Syarat mutlak komunikasi adalah yang satu mau bicara,
membuka hati dan secara jujur berani mengungkapkan keinginan-keinginan da nisi
hatinya, sedang yang lain mau mendengarkan, mau menerima, dan mau mengerti.
Oleh karena itu, gerakan tutup mulut – di mana kedua belah pihak tidak lagi mau
saling berbicara – adalah lonceng kematian bagi komunikasi.Dalam perkawinan, dua
pribadi dengan segala kekhususannya bergabung menjadi satu dan saling
melengkapi dengan saling memahami, menghormati keinginan, alam pikiran, dan
cita-cita pasangannya. Dengan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak,
beserta dengan segala “kekayaannya”, keduanya justeru saling memperkaya satu
sama lain. Proses pemerkayaan ini akan terjadi bila kedua belah pihak mau
salinh berkomunikasi.
b.
Prasyarat Komunikasi
Supaya
komunikasi bisa berlangsung, yang pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana
yang mendukung, antara lain:
1.
Relasi Suami-Isteri Nomor Satu
Relasi
suami-isteri harus dinomorsatukan di atas segala-galanya. Ini berarti bahwa
suami-siteri harus mau saling memperhatikan, mementingkan pasangan: menyediakan
waktu bagi pasangan, mau mendengarkan, mau menerima, dan mengutamakan pasangan
di atas segala yang lain. Karena RELASI lebih penting daripada PRESTASI.
Cinta itu lebih
dari sekedar perasaan. Perasaan selalu berubah-ubah (hari ini senang dan besok
mungkin sedih); sedangkan CINTA ADALAH SUATU KEPUTUSAN untuk tetap setia, juga
kalau kehangatan perasaan mulai pudar (“dalam suka dan duka, dalam untung dan
malang”); keputusan untuk tetap saling menerima seperti apa adanya, saling
membantu untuk berkembang dan menemukan kepribadian yang sejati tanpa mau
memaksa yang lain untuk menjadi seperti yang diinginkan.
2.
Menciptakan Suasana yang Nyaman
Salah satu tugas
penting isteri adalah menciptakan suasana yang enak di rumah sehingga suami
(dan anak-anak) merasa kerasan tinggal di rumah. Di pihak lain, rahasia isteri
yang baik terletak di tangan suaminya, yaitu apakah suami dapat memberikan rasa
aman, perlindungan, perhatian, kemesraan, kata-kata pujian, serta penghargaan
kepada isterinya.
Dalam
berkomunikasi satu sama lain, khususnya mengenai hal-hal yang agak peka,
hendaknya dibisaakan tidak menuduh, menuding atau mempersalahkan yang lain.
Misalnya, bukan “Kenapa kau tidak mau tahu betapa aku merindukanmu segera
berada di rumah….”, tetapi “Aku merasa cemas kalau-kalau terjadi hal yang tidak
baik padamu, maka aku mengharapkan engkau cepat pulang…”, Bukan dengan tuduhan
“Kenapa kau mesti pulang malam”, tetapi “Aku merasa kesepian kalau malam hari
sendirian di rumah” atau “Aku merindukan kau berada di dekatku…”
Dalam keluarga
Katolik, sangat penting diadakan doa malam bersama yang isi pokoknya adalah
berterima kasih kepada Tuhan atas segala berkat-Nya selama hari ini, mohon
ampun atas segala kekurangan dan kesalahan kita: mohon berkat atas hidup kita
selanjutnya. Doa malam mesti disertai juga saling memaafkan. Inilah waktunya
untuk “menyelesaikan” segala ketegangan dalam relasi yang telah timbul selama
hari itu.
Masalah-masalah
yang menyangkut kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama, sampai
tercapai mufakat, atau paling tidak sampai terjadi saling pengertian, misalnya
tentang ekonomi/keuangan, hubungan dengan orangtua dan family, pekerjaan,
pendidikan anak, kegiatan dalam masyarakat, penghayatan agama, seks, hobi, dan
sebagainya. HARUS ADA WAKTU UNTUK ITU.
Hendaknya kedua
belah pihak minimal sehari sekali saling mengucapkan sepatah kata manis atau
kata pujian, sedangkan kritikan, ejekan, tuduhan, celaan, sindiran, dan
sebagainya hendaknya dihindari. Kata “terima kasih” dan “maafkan ya” hendaknya
menjadi perkataan sehari-hari di antara pasangan suami-siteri. Apabila ada
masalah atau timbul perasaan negative hendaknya jangan dipendam saja atau
didiamkan, lebih baik dibicarakan secara terbuka!
3.
Kerelaan untuk Mendengarkan
Kunci dansyarat
mutlak komunikasi adalah kerelaan dan kemampuan untuk MENDENGARKAN. Bila yang
satu bicara yang lain diharapkan menjadi “pendengar yang baik”. Mendengarkan
berarti tidak hanya membuka telinga untuk APA yang dikatakan (isi pembicaraan
atau pesannya), tetapi lebih membuka hati untuk SIAPA yang sedang berbicara.
Dengan kata lain, dalam MENDENGARKAN ini kita memberikan atensi: perhatian,
waktu, dan diri kita sepenuhnya pada lawan bicara kita. Pentingnya mendengarkan
dengan mudah dapat kita merasa tidak didengarkan oleh orang lain. Maka, jadilah
seorang pendengar yang baik.
4.
Memilih Waktu dan Tempat
Untuk membangun
komunikasi yang baik hendaknya kita pandai-pandai memperhatikan situasi serta
memilih WAKTU dan kesempatan, juga TEMPAT yang sesuai.Misalnya, kalau suami
baru pulang dari tempat kerja/lading – dalam keadaan lelah – janganlah langsung
dihujani dengan bermacam-macam persoalan, keluhan, omelan, dan tugas-tugas.
Dalam keadaan demikian, mungkin reaksinya tidak akan baik. Berilah dia waktu
sejenak baru kemudian diajak bicara.Bila ada masalah, jangan meragukan “Apakah
dia masih cinta padaku?” Hal itu tidak perlu diragukan lagi karena Anda berdua
sudah menjanjikan hal itu di depan altar. Munculnya masalah atau persoalan
adalah hal yang bisaa dalam kehidupan bersama, yang penting bahwa diusahakan
untuk mencari solusinya. Jagalah supaya orang lain jangan sampai tahu kalau
Anda sedang berselisih. Jangan pernah membicarakan kejelekan pasangan Anda
kepada orang luar.
c.
Bahasa Komunikasi
Dibedakan tiga
bahasa komunikasi dalam relasi pasangan suami-isteri. Ini masih dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu komunikasi verbal/dengan kata-kata (bagian 1 dan 2)
dan komunikasi nonverbal/tidak dengan kata-kata (bagian 3 dan 4).
1.
Dari Kepala ke Kepala/Diskusi
Jenis komunikasi
ini adalah pembicaraan yang sifatnya basa basi, urusan sehari-hari (soal anak,
pekerjaan, atau arisan), memberi informasi, merencanakan sesuatu atau
menyelesaikan suatu masalah.Bila ada suatu masalah yang dihadapi maka perlu
dirembuk atau didiskusikan.Intinya bahwa suami-isteri saling tukar pengalaman,
pikiran atau pendapat.Tukar pendapat (isi kepala) disebut DISKUSI.Hasilnya bisa
berupa suatu kompromi, mengalah, atau toleransi.
Dalam diskusi,
suami-isteri membicarakan suatu masalah dan saling mempertahankan pendapat,
berdasarkan kebenaran yang diyakini, sampai akhirnya dapat disimpulkan suatu
pendapat yang disepakati bersama. Dalam diskusi bisaa terjadi bahwa ada pihak
yang “menang” da nada pihak yang merasa ”kalah”. Yang “menang” merasa senang,
tetapi yang merasa “kalah” sangat mungkin mempunyai perasaan dongkol, marah,
kecewa, ataupun merasa tidak dimengerti.Perasaan ini sering kali diteruskan
dengan sikap mendiamkan dan menghindar sehingga relasi suami-isteri menjadi
jauh.
Bila dalam
diskusi juga dilontarkan tuduhan (mempersalahkan yang lain), hal ini tentu akan
menimbulkan reaksi “bela diri” yang berlanjut ke pertengkaran. Maka jangan
menuduh, menggurui, menyindir, atau saling mempersalahkan.Lebih baik mengajukan
pertanyaan dan membantu pasangan mengutarakan pikirannya/isi hatinya. Perbedaan
pendapat antara suami-isteri adalah wajar! Agar diskusi tidak menjadi
pertengkaran, caranya ialah dengan bertanya dan mau mendengarkan.Menjadi
pendengar yang baik belum tentu berarti menyetujui semua hal yang didengarkan,
tetapi lebih berarti mau memperhatikan.
2.
Dari Hati ke Hati
Bentuk
komunikasi “dari hati ke hati” dengan mengutarakan isi hati dan
perasaan-perasaan disebut DIALOG. Dalam dialog, suami-isteri saling tukar
perasaan da nisi hati. Atas dasar saling percaya dan saling menerima,
suami-isteri berani saling mengungkapkan isi hati dan perasaan.Dengan demikian,
mereka dapat saling mengerti dengan hati masing-masing.
Dalam dialog,
suami-isteri saling mengungkapkan isi hati atau perasaan. Perasaan seseorang
hanya dapat diterima saja; jadi tidak perlu membela diri, apalagi menyerang
atau mengusut dengan pertanyaan: “Mengapa kau punya perasaan seperti itu?” atau
“Aku tidak setuju dengan perasaanmu itu”. Kalau belum jelas apakah yang
diutarakan itu “perasaan” atau “pendapat”, lebih baik bertanya dahulu supaya
kedua belah pihak berbicara pada “gelombang” yang sama daripada salah omong.
Banyak
suami-isteri masih sulit untuk mengungkapkan perasaannya, lebih-lebih perasaan
negative (sakit hati, dongkol, kecewa, dan sebagainya) atau perasaan yang
kurang menyenangkan (takut, gagal, sedih, dan sebagainya).Namun,
perasaan-perasaan itu merupakan bagian dari hidup. Kalau dipendam hanya akan
menjadi beban, dan pada suatu saat bisa “meledak” dalam bentuk kemarahan, kata
yang pedas, dan sindiran yang menyakitkan. Pedoman yang penting dalam hal ini
adalah: perasaan itu tidak “baik” atau “jelek”, tetapi perasaan itu
mengungkapkan sesuatu mengenai jati diri kita yang sebenarnya.
Dalam dialog,
suami-isteri hanya mengungkapkan perasaan-perasaan hati. Tidak ada sikap
menuduh atau mempersalahkan.Tidak ada yang “menang” dan “kalah”.Oleh karena
itu, hasil dialog adalah lebih saling mendekatkan dan menghangatkan
relasi.Pembicaraan dari hati ke hati sering dibantu dengan tulisan/surat.
3.
Bahasa Badan
Bahasa badan
adalah setiap ungkapan cinta, perhatian, dan kasih saying satu sama lain,
tetapi tidak dengan kata-kata dan tidak dimaksudkan untuk merangsang seksual.
Bahasa badan ini sangat penting untuk menciptakan suasana akrab dan
mesra.Bahasa badan mempunyai peranan tersendiri (lepas dari hubungan seks).Bahasa
badan dapat memberikan rasa aman, terlindung, diperhatikan, dan menimbulkan
rasa akrab.
Pada waktu masih
pacaran bisaanya orang pandai mencari kesempatan untuk saling menyentuh.Belaian
tangan atau rambut dengan lembut dirasakan sebagai sesuatu yang amat berarti
untuk mengungkapkan rasa cinta dan mendekatkan hati. Tangan kita dapat bicara
sama banyaknya dengan mulut. Jari jemari dapat mendengarkan sama tajamnya
seperti telinga. Mengapa cara pengungkapan seperti ini dihentikan atau dianggap
sudah tidak perlu lagi kalau sudah menjadi suami-isteri? Tetapi bila
suami-isteri ingin mengadakan hubungan seks, mesti didahului dengan bahasa
badan dalam berbagai variasinya. Cara-cara itu antara lain: pandangan mata,
pijat-pijatan, senyuman, pegang-pegangan, rangkulan, sentuhan/belaian tangan,
ciuman, duduk berdampingan, dekapan, dan lain-lain. Dianjurkan agar
suami-isteri saling memberi ciuman sebagai tanda kasih saying minimal beberapa
kali sehari! Tanda-tanda adanya hubungan akrab antara ayah dan ibu seperti itu boleh
dilihat anak.
4.
Hubungan Seks
Apa itu Hubungan
Seks?
Hubungan seks
adalah bahasa komunikasi yang paling intim dan paling menyeluruh dalam relasi
suami-isteri, sebagai perwujudan nyata dari “bersatu padu jiwa raga”. Seks
bukan pertama-tama suatu “kegiatan yang dilakukan” untuk mencari kepuasan
biologis atau hanya “melaksanakan kewajiban” sebagai suami dan isteri,
melainkan suatu bahasa komunikasi yang dimaksudkan untuk lebih mempersatukan
suami-isteri dalam kasih mesra. Seks bukan pertama-tama suatu aktivitas yang
bersifat biologis melulu, yang dilakukan dengan alat kelamin melainkan
aktivitas yang melibatkan unsur psikologis/kejiwaan, emosional/perasaan, dan
spiritual/kehendak/kemauan. Dengan kata lain, aktivitas seksual adalah
aktivitas yang melibatkan seluruh pribadi manusia dan tidak dapat dilepaskan
dari keseluruhan relasi suami-isteri dan suasana keluarga.
Bila relasi
suami-isteri berjalan dengan baik dan suasana keluarga dalam keadaan harmonis,
maka hubungan seks juga akan menjadi aktivitas yang membahagiakan. Karena
itulah dapat dikatakan bahwa hubungan seks hanyalah “meragakan” relasi yang
ada. Bila hati dekat, hubungan seks juga akan memuaskan; sebaliknya bila hati
tidak merasa dekat, segala teknik seks yang paling canggih pun tidak akan membantu
untuk mendekatkannya.Bukan seks yang membuat perkawinan menjadi sukses,
sebaliknya relasi yang baik membuat seks menjadi suatu pengalaman yang indah
dan membahagiakan.
Supaya hubungan
seks bisa berjalan dengan memuaskan bagi kedua belah pihak, perlu diperhatikan
perbedaan dalam pembawaan, sifat, kebutuhan, harapan, keinginan, dan irama
pria-wanita.
Pria lebih
terarah pada seks dalam arti sempit (biologis) dan mempunyai pola dasar “gerak
cepat” , serdangkan wanita lebih mengutamakan kasih saying, kehangatan,
kemesraan, rasa aman (segi psikologis dan emosional) dan mempunyai pola dasar
“lambat” dalam arti memerlukan waktu lebih lama untuk terangsang secara seksual
dan mencapai kepuasannya. Bagi kaum laki-laki, seks adalah kegiatan sesaat;
bagi wanita seks adalah kegiatan sehari. Jika perbedaan dasar ini kurang
diperhatikan hubungan seks dapat menjadi sumber kekecewaan yang sangat mencekam
dan akan mempengaruhi keseluruhan relasi suami-isteri. Karena itu, baiklah bila
kedua belah pihak mau saling “belajar”
dan terbuka terhadap masalah ini.
Pelaksanaan
Hubungan Seks
Pelaksanaan
hubungan seks memerlukan persiapan yang cukup lama agar isteri dapat menyambut
suami dengan sebaik-baiknya, demikian sebaliknya.Jika tidak demikian, isteri
tidak dapat memberikan diri, apabila ada persoalan atau isteri lagi banyak
pikiran, dan sebagainya.Sebaiknya suami-isteri mempunyai semacam “kode” untuk
saling mengajak.Jika situasi dan kondisi tidak memungkinkan, ajakan tersebut
juga bisa dijawab dengan suatu “penolakan halus”.
·
Tiga Langkah Berhubungan Seks
Pelaksanaan
hubungan seks suami-isteri hendaknya melalui tiga langkah berikut ini:
a.
Persiapan (Foreplay)
Persiapan
(foreplay) untuk menciptakan kesatuan jiwa dan hati juga mempersiapkan
alat-alat tubuh untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Persiapan itu dapat
dilaksanakan dengan: rayuan, pijatan, belaian, ciuman, dan sentuhan pada
seluruh tubuh, termasuk daerah erogen ( yang peka terhadap rangsangan).
Rangsangan pada wanita harus secara kontinyu dan ritmis supaya efektif dan akhirnya
dipusatkan pada klitoris.Makin lama permainan cinta ini diteruskan makin baik.
Maka suami hendaknya bersabar! Jangan memaksa/mendobrak.
b.
Berhubungan Seks (Sanggama)
Berapa
kali?Sikap atau tekniknya?Perlu variasi?Kalau pria selesai lebih dahulu, sedang
isteri belum?Kalau isteri sedang menstruasi/hamil/sakit/KB?Bagaimana kalau
salah satu menolak? Masalah praktis seperti: impotensi, sakit, dan sebagainya.
c.
Sesudah Hubungan Selesai (After
Play)
Kebersamaan
diteruskan sampai dua-duanya mengalami kepuasan dengan belaian yang lembut
disertai bisikan kata-kata pujian dan terima kasih. Evaluasi bersama = bahkan
dialog, bisa saling menanyakan apakah masing-masing pihak mengalami kepuasan,
bila tidak mengapa? Lain kali bisa diperbaiki lagi!
Tidak selalu berhasil/memuaskan,
bersabarlah!
·
Beberapa Petunjuk
a). Perlu
Privasi
Perlu privasi:
kamar tidur tersendiri, di mana tidak dilihat anak/orang lain. Bila sudah ada
anak, hendaknya selekas mungkin diberi tempat tidur dan kamar sendiri. Antara
suami-isteri tidak perlu ada rasa malu: kedua belah pihak berani mengungkapkan
keinginan secara jelas dan terus terang. Jangan menganggap bahwa pasangan
“mengetahui” apa yang anda butuhkan/inginkan. Hubungan seks bukanlah hal yang
tabu, justru karena itu perlu dibicarakan/didialogkan bersama-sama sehingga
segala keinginan, kekecewaan, kejengkelan, dan harapan dapat terungkap.
b). Permainan
Cinta
Apabila isteri
sedang menstruasi, sedang dalam keadaan subur, hamil, atau baru melahirkan
sehingga mereka tidak dapat melakukan hubungan seks secara normal, mereka boleh
saja saling merangsang untuk saling memberikan kepuasan.Permainan cinta
(mesra-mesraan, bercumbu-cumbu) mempunyai fungsi tersendiri yang dapat
dilakukan setiap waktu di antara suami-isteri juga kalau isteri sedang menstruasi
atau lagi tidak bergairah untuk bersanggama.
Haruslah
disadari bahwa tidak setiap ungkapan kemesraan adalah ajakan untuk berhubungan
seks; tidak setiap permainan cinta harus berakhir dengan hubungan
sanggama.Prinsip “kalau tidak berhubungan seks, maka tidak usah melakukan
permainan cinta” hendaknya dijauhkan dari kehidupan suami-isteri.Sejauh
permainan cinta itu membantu mendekatkan hati dan membuat suami-isteri makin
mesra dan bahagia sejauh itu pula layak untuk dilakukan.
c). Kontak Intim
Belajar
memandang “kontak intim” (belaian mesra, tatapan, pelukan, pegangan tangan,
ciuman di kening-pipi-dahi) antara suami-isteri sebagai cara untuk menyampaikan
rasa kasih saying dan bahasa komunikasi. Seks tidak sama dengan sanggama. Seks
dapat juga diartikan sebagai bersantai bersama dalam keakraban dan permainan,
maka perlu disertai percakapan dan humor.Seks adalah pemberian Tuhan, dan tubuh
kita pun suci, tempat kediaman Roh Kudus dan pernyataan kasi Allah. Sabda
Tuhan, “Di mana ada dua orang brsatu atas nama Tuhan, di sana Tuhan sendiri
hadir di tengah-tengah mereka” juga berlaku dalam relasi intim suami-isteri
ketika mereka saling memberikan diri sepenuhnya dalam hubungan seks.
MENYELESAIKAN KONFLIK
Adanya perbedaan
pendapat antara suami-isteri adalah hal yang wajar dan dapat terjadi kapan
pun.Perbedaan pendapat itu hendaknya diselesaikan mlalui diskusi di mana kedua
belah pihak dapat menyampaikan secara jujur segala keluhan, perasaan, dan
mungkin juga kejengkelan yang dialaminya.Akan tetapi, kenyataan menunjukkan
bahwa perbedaan pendapat sering berkembang menjadi konflik; diskusi berubah
menjadi pertengkaran dan perang mulut.
Konflik sulit
dihindari, yang penting adalah bagaiman mengatasinya dengan cara dan semangat
Kristiani sehingga tidak membawa kehancuran dalam kehidupan suami-isteri. Bisaanya
sumber konflik antara suami-isteri adalah hal-hal bisaa seperti: pendidikan
anak, keuangan keluarga, aturan rumah tangga, atau mungkin juga karena campur
tangan pihak ketiga (orangtua, mertua, orang luar). Kerap kali di belakang
konflik ada suatu perasaan yang sangat mendalam, misalnya isteri marah-marah
(kemarahan yang luar bisaa) hanya karena suami tanpa sengaja menumpahkan kopi
di taplak meja.Mungkin alasan mendasar di balik kemarahan yang demikian besar
adalah karena isteri merasa kurang diperhatikan oleh suami.
Nasihat orang
bijak mengatakan: “Jangan lari, tetapi hadapilah persoalan yang anda alami
dalam hisup”. Hal yang sama juga berlaku dalam kehidupan suami-isteri. Apa pun
persoalan yang ada hendaknya dibicarakan dan dicarikan jalan keluarnya sampai
tintas. Jangan pernah mendiamkan amasalah yang ada karena masalah itu akan kian
membesar; apalagi karena suatu masalah relasi suami-isteri mencapai titik nol
(diam seribu bahasa).
Konflik terbuka
yang terjadi antara suami-isteri tidaklah selalu jelek. Suatu konflik dapat
juga berfungsi positif, yakni untuk menjelaskan situasi, menyadarkan kedua
belah pihak akan keadaan dan kebutuhan pasangannya serta menjadi sarana untuk
mengungkapkan ganjalan-ganjalan, unek-unek yang mungkin sudah lama mengganggu
relasi mereka. Hal penting yang perlu diperhatikan bila terjadi konflik adalah
tidak membela diri dan mempersalahkan pihak lain, tetapi mau refleksi diri
sambil bertanya dalam hati “apa salahku hingga menjadi demikian?”.Kedua belah
pihak harus berani mencari sumber masalahnya sebelum bisa mengatasinya.
PEDOMAN MENYELESAIKAN KONFLIK
a.
Mendengarkan dengan Baik
Mendengarkan
dengan baik, terutama mau menerima perasaan-perasaan yang diungkapkan, setelah
itu baru diajak bicara baik-baik dan dirembuk pokok permasalahannya. Mencoba
memandang persoalan dari sudut pandang pasangan kita: “Seandainya saya pada
posisi dia, bagaimanakah pandangan dan perasaanku?” Kalau yang satu mau
mengerti pandangan dan perasaan pihak lain, kerap kali separuh masalah sudah
terselesaikan.
b.
Jangan Menanggapi Emosi
Emosi jangan
ditanggapi dengan emosi, sebab kalau ditanggapi seperti itu kemungkinan akan
keluar kata-kata kasar/kotor yang tidak pada tempatnya. Bila yang satu emosi,
yang lain lebih baik diam atau pergi; setelah emosi mulai reda barulah
pembicaraan dapat dilanjutkan kembali dengan tenang. Hindarilah kata-kata kasar
dan kecaman/kritik yang tidak mengenai pokok persoalan dan hanya menyakitkan
hati.
c.
Orang Lain Jangan Tahu
Usahakan sedapat
mungkin jangan sampai orang lain tahu bahwa anda sedang berkonflik dengan
pasangan anda. Maka, jangan pernah bertengkar di hadapan anak-anak ataupun di
hadapan pembantu, tetapi bertengkarlah di kamar sendiri.Batasi diri pada pokok
masalahnya. Jangan mengaitkan masalah lain yang tidak ada hubungannya, apalagi
sampai melibatkan orang lain dalam kancah pertengkaran. Jangan pernah lupa
bahwa orang yang sedang berkonfrontasi dengan anda adalah pasangan anda,
belahan hati anda, kepada siapa anda telah berjanji akan mencintai dan
menghormatinya sepanjang hidup anda. Bila konflik dapat diselesaikan hendaknya
anda berdamai kembali dan berdoalah bersama serta saling memaafkan dan tidak
mengungkit-ungkit kembali konflik atau permasalahan yang telah lewat.
PERTANYAAN UNTUK DISKUSI
1.
Bagaimana perasaan/reaksi anda
bila dipuji oleh pasangan anda?
2.
Bagaimana perasaan/reaksi anda
bila dikritik, dicela, dikomentari, atau disindir oleh pasangan anda?
3.
Bila anda merasa tersinggung,
sakit hati, apa yang anda harapkan dari pasangan anda? Bila pasangan anda
merasa tersinggung dan sakit hati, apa yang anda harapkan darinya?
4.
Bagaimana perasaan anda jika
pasangan anda mau mendengarkan anda dengan sungguh dan sepenuh hati? Bagaimana
perasaan/reaksi anda jika pasangan anda ternyata tidak sungguh mendengarkan
anda?
5.
Manakah hal-hal yang harus anda
diusahakan menjadi pendengar yang baik?
No comments:
Post a Comment